时间:2025-05-25 08:34:58 来源:网络整理 编辑:娱乐
Warta Ekonomi, Jakarta - Dalam acara Meet The Leaders yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadi quickq快客官网苹果下载
Dalam acara Meet The Leaders yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina Jakarta, mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla membagikan pandangannya tentang kepemimpinan di tengah krisis global.
Dengan tajuk "Leading Through The Storm: Resilient Leadership in Time of Crisis", Kalla menekankan pentingnya ketegasan, tanggung jawab, dan visi yang jelas dari seorang pemimpin, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi dan geopolitik dunia yang semakin kompleks.
Menurut Kalla, tugas utama seorang pemimpin adalah menginspirasi, mempersatukan, dan memberikan motivasi kepada timnya. Namun, yang lebih krusial adalah kemampuan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Ia menegaskan bahwa pemimpin yang baik harus berani memutuskan dan memastikan keputusannya dipahami oleh bawahan.
Selain itu, pemimpin juga harus mampu merencanakan, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik secara konstruktif. Jika kinerja tim baik, penghargaan wajib diberikan, sementara kesalahan harus dikoreksi dengan tegas. Setiap keputusan yang diambil pun harus berdasar pada analisis yang matang dan memberikan manfaat jangka panjang.
Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar, mulai dari menginspirasi, mempersatukan, memberikan motivasi, hingga mengambil keputusan yang tepat. Keputusan tersebut harus cepat, tegas, dan dapat dipahami oleh bawahan agar efektif. Selain itu, pemimpin juga bertugas merencanakan, mengevaluasi kinerja, serta memberikan penghargaan atau teguran sesuai kebutuhan. Namun, setiap keputusan yang diambil harus memiliki dasar yang kuat dan memberikan manfaat nyata bagi semua pihak.
Di tengah kompleksnya tantangan global saat ini, peran pemimpin menjadi semakin krusial. Dunia sedang menghadapi berbagai krisis dan konflik yang berdampak luas, seperti perang Rusia vs Ukraina, ketegangan India vs Pakistan, dan konflik Israel vs Hamas. Belum lagi konflik internal di Yaman, Sudan, dan Myanmar, serta potensi eskalasi di China-Taiwan dan Korea Selatan-Korea Utara. Semua ini tidak hanya mengganggu stabilitas global tetapi juga memengaruhi kondisi dalam negeri Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang memahami dinamika global dan mampu mengambil langkah strategis sesuai situasi.
Baca Juga: Indonesia Diklaim Jadi Negara dengan Produksi BEV Tertinggi di ASEAN, Apa Efeknya?
Dampak konflik global terhadap perekonomian sangat signifikan. Perang Rusia-Ukraina, misalnya, mengganggu ekspor gandum Ukraina dan pasokan gas Rusia ke Eropa, menyebabkan kelangkaan energi di Jerman, Prancis, dan Inggris. Sementara itu, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa harus menanggung beban finansial besar untuk mendukung Ukraina, sehingga memicu defisit anggaran. Konflik Israel-Hamas juga menambah ketidakstabilan ekonomi global.
Selain konflik, kebijakan ekonomi AS di bawah Donald Trump turut memperburuk situasi. Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkannya justru membebani rakyat AS sendiri karena harga produk impor—terutama dari China—menjadi lebih mahal. Alih-alih menguntungkan, kebijakan ini memicu perang dagang yang merugikan banyak negara. Meski Indonesia tidak terlalu terdampak karena hanya 10% ekspornya mengalir ke AS, gejolak ekonomi global tetap memengaruhi pertumbuhan nasional.
Kebijakan Trump yang tidak terkalkulasi dengan baik telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,7% menjadi 2,8% hanya dalam dua bulan. Indonesia pun terkena imbasnya: pertumbuhan ekonomi melambat dari proyeksi 5,2% menjadi 4,8%. Ditambah dengan beban utang dan defisit warisan pemerintahan sebelumnya, pemerintah terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran. Akibatnya, banyak program pembangunan terhambat, daya beli masyarakat menurun, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai sektor. Padahal, konsumsi domestik adalah penggerak utama perekonomian Indonesia.
Kondisi ini memicu negative cycle: penurunan produktivitas ekonomi melemahkan konsumsi, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan. Dampak tidak langsungnya adalah maraknya premanisme sebagai efek dari pengangguran massal. Untuk mengatasinya, pemimpin tidak hanya harus memberantas premanisme, tetapi juga menyelesaikan akar masalahnya, yaitu lapangan kerja yang minim.
Jika Ada Leasing Eksekusi Sembarangan, APPI Bakal Tindak Tegas2025-05-25 08:34
Tips Diet Ampuh, Kembalikan BB Ideal yang Naik Setelah Lebaran2025-05-25 08:14
KPU Sebut 2 Gugatan Soal Penerimaan Gibran sebagai Cawapres Telah Gugur2025-05-25 08:07
Kasus Pelecehan Seksual, Uber Dituntut US$1,9 Juta2025-05-25 07:54
Eks Wamenkumham Kembali Ajukan Gugatan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan2025-05-25 07:14
Katanya Perempuan Butuh Lebih Banyak Tidur Dibanding Pria, Benarkah?2025-05-25 06:40
Tawaran Pindah ke Kota di Italia, Dikasih Rp1,8 M untuk Beli Rumah2025-05-25 06:36
Ribuan Personel Polisi Dikerahkan Jelang Debat Pemilu 20242025-05-25 06:35
Bandara Changi Terpilih sebagai Bandara dengan Toilet Terbaik di Dunia2025-05-25 06:17
Ditkrimsus PMJ Sita Barang Bukti di Apartemen Firli Bahuri2025-05-25 06:06
Ternyata Ada 3 Tanaman yang Baik untuk Kesehatan Mata, Apa Saja?2025-05-25 08:07
Menteri PPPA Desak Hukuman Berat untuk Dokter Pelaku Kekerasan Seksual2025-05-25 08:05
Tarif MRT Dinilai Tak Kemahalan2025-05-25 07:53
Saling Tunjukan Kekompakan, Para Capres Lakukan 'Tos' dengan Cawapresnya2025-05-25 07:22
Ekonomi China Ngebut, PM Li Qiang Ajak Indonesia Lari Bareng2025-05-25 07:16
Apa yang Terjadi Pada Tubuh Saat Minum Alkohol?2025-05-25 07:10
Mantan Penasihat Imbau KPK Jangan Asal Rotasi Jabatan2025-05-25 06:50
FOTO: Inovasi Pertanian Modern di Agro Edukasi Wisata Ragunan2025-05-25 06:31
Kasus Pelecehan Seksual, Uber Dituntut US$1,9 Juta2025-05-25 06:29
FOTO: Melancong ke Masa Depan Lewat Pameran World Expo 2025 Osaka2025-05-25 06:17